Anak Rantau: Ketika Kata Menyentuh Tanah Kelahiran

$rows[judul]

Filosofinews.com., Pasaman Barat (01/06) — Di antara rimbunnya hutan dan dinginnya udara di kaki Gunung Talamau, Isnaini Al Ihsan, S.H., Dt. Mangkuto Alam, melangkah pulang ke tanah kelahiran dengan hati penuh kerinduan dan cinta. Pulang kampung kali ini bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan reuni jiwa yang merajut erat benang-benang masa lalu dan harapan masa depan.

Kesempatan berharga pulang kampung ini membuka pintu untuk beliau diundang tampil dalam acara Selingkar Pasbar di TV Pasbar pada Sabtu, 31 Mei 2025. Di panggung layar kaca itu, beliau membacakan puisi ciptaannya sendiri—sebuah karya yang mengalir dari kedalaman hati, mengekspresikan rindu dan penghormatan pada desa kelahiran ibunya, Kanagarian Tinggam, Talu, Pasaman Barat.


Di balik cerita desa kelahiran Mama..
Menelusuri rimbo kejahatan sampai jembatan panjang, dan tempias angin dari puncak Talamau menandai jejakku di tanah ini. Ku sapa batu-batunya yang kekal, yang saban hari dijilati mata air..

Bait ini adalah salam penuh cinta untuk desa tempat ibu bermula. Rimba yang menantang dan jembatan panjang melambangkan perjalanan hidup yang berliku dan penuh perjuangan. Angin dari puncak Talamau dan batu-batu yang disirami mata air menjadi saksi keabadian dan keteguhan jiwa.


Di Bangkok yang jalannya sepi dan sedikit sempit, langkahku ditemani langit biru, reruntuhan pelangi yang tiba-tiba membentang di kaki Talamau, dan menyelinap di antara belerang aia angek talu, seperti menandakan kelahiran dan juga kematian..

Bangkok di sini adalah sudut desa yang tenang, tempat langit biru membentang dan pelangi muncul sekejap, serta uap belerang dari mata air panas Talu yang menandai siklus kehidupan, lahir dan mati, yang saling bersanding.


Sedangkan tubuhku terus memberat di ambang jurang Goa Tombang, gemercik air dan tebingnya yang menyembunyikan Suara Ghaib. Aku tak bisa memahami batu-batu yang bertumpu di puncaknya, kicauan burung walet yang mendayu dari kejauhan, bahkan terowongan goa itu, entah menuju kemana..!

Di jurang Goa Tombang, suara alam yang misterius dan pemandangan yang megah memanggil jiwa untuk merenung dan bertanya, ke mana perjalanan hidup ini berakhir. Batu-batu dan nyanyian burung walet menjadi metafora keindahan sekaligus misteri kehidupan.


Mana hujan menemukan tanah Tinggam, desa kecil tempat lahirnya mamaku, dan ia ikhlas menjadi bagian dari tanah, tanpa harus menjadi air kembali..

Hujan yang turun di tanah Tinggam menjadi simbol cinta dan pengorbanan Ibu yang ikhlas melebur menjadi bagian bumi, abadi tanpa harus kembali menjadi air, seperti kasih sayang yang tak pernah pudar.


Tinggam di tengah hutan yang memanjang, di antara Gunung Talamau dan Gunung Pasaman, di antara kelokan-kelokan yang gelap oleh belantara, kubawa tubuhku sejauh ini..

Tinggam, terbungkus hutan dan gunung yang kokoh, adalah rumah hati. Jauh melangkah, jiwa tetap pulang, membawa segala beban dan harapan dalam keheningan penuh makna.


Aku betah berlama-lama di sini, menunggu sesuatu yang diberi nama kasih sayang pada secangkir kopi..

Dalam kehangatan sederhana secangkir kopi, terukir keintiman dan kasih yang tulus, alasan hati memilih tinggal lama di pelukan kampung halaman.


Sebagai anak rantau yang berkiprah di Makassar, Isnaini Al Ihsan, S.H., Dt. Mangkuto Alam, dengan bangga memikul amanah sebagai Niniak Mamak Kanagarian Tinggam - Talu Pasaman Barat. Pulang kampung dan kesempatan berbagi kisah lewat Selingkar Pasbar TV Pasbar adalah ungkapan cinta yang mendalam pada kampung halaman, serta harapan agar akar dan budaya terus tumbuh dan bersemi.

Lewat puisi dan langkahnya, Dt. Mangkuto Alam mengingatkan kita bahwa, sejauh apa pun kita melangkah, kampung halaman adalah bait puisi terindah yang selalu menunggu untuk kita rengkuh dan hayati dalam jiwa.

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)