Pada tahun 2018, para perantau Minang dari berbagai penjuru dunia berkumpul di Melbourne, Australia, dalam sebuah forum yang dinamakan Minang Diaspora Network-Global (MDN-G). Acara yang dihadiri oleh perantau Minang dari berbagai negara ini berlangsung selama tiga hari dengan tujuan membahas isu-isu terkini seputar kehidupan masyarakat Minangkabau, khususnya mereka yang berada di luar ranah.
Dari pertemuan tersebut, muncul beberapa gugus tugas (task force) di bidang pendidikan, adat, dan ekonomi. Salah satu topik yang menarik perhatian adalah diskusi mengenai identitas keminangkabauan bagi perantau, terutama bagi generasi yang lahir dan besar di luar negeri. Pertemuan kedua MDN-G pada 3-5 November 2023, di Hotel Pangeran Beach, kembali mengangkat isu tentang jati diri orang Minang di rantau, dengan nada yang agak risau. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk menafsir ulang keminangkabauan, baik di ranah maupun di rantau, agar dapat lebih relevan dengan kondisi zaman sekarang.
Secara sederhana, orang Minang adalah mereka yang lahir dari seorang ibu yang juga berasal dari suku Minang. Mereka memiliki suku, dan setiap suku memiliki pangulu (pemimpin adat) yang menjadi bagian integral dari identitas mereka. Orang Minang juga dikenal dengan rumah gadang, simbol kebesaran dan keutuhan keluarga. Tiga elemen inti ini - Suku, Pangulu, dan Rumah Gadang - mencerminkan identitas orang Minangkabau di ranah.
Selain itu, orang Minangkabau juga memiliki Pusako (warisan adat) yang terdiri dari berbagai macam harta benda, seperti tanah, kebun, sawah, dan pandam (kuburan keluarga). Dalam konteks yang lebih luas, mereka juga memiliki hubungan dengan nagari (kampung halaman) tempat mereka tinggal. Definisi ini sangat kental berlaku bagi orang Minang yang berada di ranah, namun menjadi lebih kompleks ketika diterapkan pada mereka yang berada di rantau.
Orang Minang di ranah umumnya akan menanyakan tiga hal ini saat bertemu dengan sesama Minang: “Kampuang dima? Suku apo? Pangulu wak sia?” - pertanyaan ini menjadi ukuran dasar untuk mengenali Identitas Minangkabau seseorang. Selain itu, bahasa Minang, tata cara berperilaku, dan pemahaman tentang adat juga menjadi indikator keminangkabauan seseorang. Semua elemen ini dapat dievaluasi oleh sesama orang Minang sebagai cerminan sejauh mana mereka memegang nilai-nilai adat.
Orang Minang modern adalah mereka yang tumbuh di luar lingkungan tradisional Minangkabau. Sebagian besar dari mereka adalah perantau yang tinggal di perkotaan, jauh dari akar adat mereka yang asli. Kehidupan mereka lebih dipengaruhi oleh nilai-nilai modern yang berkembang di kota-kota besar. Di lingkungan seperti ini, hubungan antar tetangga tidak lagi dilandasi oleh kesamaan suku atau adanya pangulu yang sama. Bahkan, relasi dengan masjid pun lebih terlepas dari konteks kampung Minangkabau yang bersifat tradisional.
Di kota-kota besar, meskipun bahasa Minang masih sering terdengar, banyak dari mereka yang tidak lagi menjalankan adat secara tradisional. Kehidupan mereka lebih dipengaruhi oleh pola hidup modern yang tidak lagi mengharuskan mereka untuk menjalani prosesi adat. Bahkan, bahasa Indonesia menjadi lebih dominan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam konteks pendidikan dan dunia usaha. Sekolah dan tempat kerja sering kali mengharuskan penggunaan bahasa Indonesia, yang dianggap lebih fungsional. Di sisi lain, komunikasi informal antar sesama pekerja atau anggota keluarga masih menggunakan bahasa Minang, meskipun bahasa Indonesia semakin mendominasi.
Saat ini, semakin banyak orang Minang yang tinggal di belahan dunia lain, seperti Eropa, Amerika, dan Australia. Meskipun mereka memiliki akar keturunan Minangkabau, mereka tidak lagi tumbuh dalam budaya Minang yang tradisional, bahkan sering kali tidak terpapar langsung dengan budaya Minangkabau modern.
Misalnya, mereka yang lahir dan besar di Sydney tentu hidup dalam budaya dan lingkungan sosial yang sangat berbeda dengan budaya Minangkabau. Mereka tidak membutuhkan keterampilan berbahasa Minang untuk bertahan hidup, dan struktur sosial mereka lebih terpengaruh oleh budaya Barat. Lalu, apakah mereka masih bisa disebut sebagai orang Minang? Apakah mereka dianggap Minang oleh mereka yang tinggal di ranah?
Pertanyaan ini kembali muncul dalam diskusi para perantau Minang di Melbourne pada tahun 2018 dan semakin menguat pada pertemuan MDN-G selanjutnya. Di ranah, orang Minang mungkin merasa sulit untuk mendefinisikan kembali status keminangkabauan bagi mereka yang lahir di luar negeri atau berasal dari keturunan campuran.
Mendiang Azyumardi Azra pernah menyinggung tentang kosmopolitanisme orang Minang, yakni kemampuan mereka untuk beradaptasi dan memainkan peran di berbagai belahan dunia. Namun, konsep ini perlu diperluas lagi dengan istilah "Minang Dunia" atau "World Minangneses". Istilah ini mengakui bahwa identitas Minangkabau berkembang melalui interaksi dengan budaya luar, khususnya budaya rantau.
Sebagai contoh, orang Minang yang lahir dan besar di Pulau Sulawesi tentu memiliki karakteristik Sulawesi, baik dalam bahasa maupun perilaku. Demikian pula, orang Minang yang tinggal di Sydney, Australia, meskipun mempertahankan bahasa Minang dalam keluarga, tetap berinteraksi dengan pola budaya Sydney yang sangat berbeda. Inilah yang disebut sebagai wajah baru dari Minangkabau global—sebuah campuran identitas yang mencerminkan pengaruh budaya lokal namun tetap mempertahankan nilai-nilai inti Minangkabau.
Bagi generasi Minang yang tinggal di luar ranah, penting untuk menanamkan nilai-nilai keminangkabauan dalam kehidupan mereka. Secara lahiriah, mereka perlu diberi pemahaman tentang asal-usul, suku, pangulu, dan tradisi adat Minangkabau. Selain itu, penting bagi mereka untuk memahami struktur sosial dan relasi dalam komunitas Minang, seperti pemahaman tentang siapa yang harus dipanggil mamak atau apak.
Secara batin, mereka juga perlu menginternalisasi nilai-nilai komunal seperti rasa malu (malu kaum) dan prinsip-prinsip sosial Minangkabau, seperti raso-pareso, tenggang-raso, dan basamo mangko manjadi. Tidak kalah penting, mereka harus mempertahankan agama Islam sebagai bagian dari identitas mereka, karena agama ini adalah salah satu pilar utama dari jati diri orang Minangkabau.
Meskipun bahasa Minang mungkin tergerus oleh bahasa Indonesia atau bahasa lokal lainnya, penting bagi generasi Minang global untuk memahami bahwa bahasa adalah jati diri yang paling mendalam. Menggunakan bahasa Minang berarti melihat dunia melalui kacamata Minangkabau. Namun, sesuai dengan pepatah adat "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung", mereka yang tinggal di luar ranah, seperti di Amerika atau Sulawesi, tetap menggunakan bahasa setempat untuk berkomunikasi, asalkan mereka tidak melupakan akar mereka sebagai bagian dari komunitas Minangkabau.
Dengan demikian, meskipun beradaptasi dengan budaya lokal, generasi Minang global tetap dapat menjaga dan merayakan identitas mereka dengan cara yang sesuai dengan perkembangan zaman. Mereka dapat menyesuaikan cara hidup mereka, namun tetap mempertahankan inti nilai-nilai Minangkabau yang telah diwariskan selama berabad-abad.
Tulis Komentar