Ketika Dt. Toembidjo Pamit, Air Pun Menyucikan Jejaknya

$rows[judul]

Filosofinews., Makassar (23/07) — Ada yang berbeda di halaman Masjid Baitul Adli Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan. Suara gemericik air dari bangunan tempat wudhu’ baru mengalir tenang, seolah menyuarakan kesungguhan yang diam-diam bekerja. Bangunan itu bukan sekadar sarana ibadah, tapi jejak pengabdian terakhir dari seorang jaksa yang juga tokoh adat: Ferry Tass Dt. Toembidjo.

Menjelang berakhirnya masa tugas sebagai Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara (Asdatun) Kejati SulSel, beliau menuntaskan pembangunan tempat wudhu’ sebagai persembahan dari amanahnya selaku Ketua Presidium Takmir DKM Masjid Baitul Adli Kejati Sulsel. Karya ini menjadi penanda bahwa pengabdian tak selalu ditutup dengan pidato, tapi bisa juga ditorehkan dalam bentuk nyata yang akan digunakan dan dikenang.


Dalam sesi wawancara khusus bersama Dt. Mangkuto Alam, terungkap nilai-nilai yang melandasi lahirnya karya tersebut. Sebagai sesama tokoh adat Minangkabau di Sulawesi Selatan, keduanya berbincang bukan hanya soal pembangunan fisik, tapi tentang makna pengabdian yang terbungkus dalam kesadaran adat, agama, dan tanggung jawab sosial.

“Yang tampak mungkin hanya bangunan tempat berwudhu. Tapi sejatinya, di sanalah mengalir ketulusan seorang pemimpin yang menunaikan amanah dengan diam dan dalam. Ini bukan sekadar air untuk menyucikan diri, tapi aliran niat suci yang dibingkai menjadi warisan abadi di rumah Allah,” tutur Dt. Mangkuto Alam, dengan nada yang lirih namun penuh makna.

Ferry Tass Dt. Toembidjo sendiri menegaskan bahwa apa yang ia lakukan adalah bagian kecil dari kewajiban moral sebagai seorang muslim, jaksa, dan anak nagari.

“Setiap amanah datang bersama batas waktu, tapi amal yang ikhlas,semoga tak berbatas nilainya di sisi Allah. Tempat wudhu ini dibangun bukan untuk meninggalkan nama, melainkan sebagai bentuk syukur, sebagai bekal kecil yang semoga terus mengalir pahalanya. Biarlah airnya menjadi saksi, bahwa niat ini lahir dari cinta kepada rumah-Nya, bukan untuk dikenal manusia. Jika kelak tak ada lagi yang tahu siapa yang memulai, semoga langit tetap mencatatnya, sebagai amal yang bersih, seperti air yang mengalir, membersihkan, dan menyucikan,” ujar Dt. Toembidjo dengan lirih, seolah menyerahkan seluruh niatnya hanya kepada Allāh subḥānahū wa ta‘ālā. 

Jejak langkah ini bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba. Sejak dahulu, tanah Sulawesi telah menjadi medan dakwah dan pengabdian para perantau Minangkabau. Sejarah mencatat peran besar tiga Datuk pembawa ajaran Islam ke bumi Sulawesi, tokoh yang tidak hanya menyebarkan syariat, tapi juga menanamkan nilai-nilai adat dan ilmu sebagai fondasi sosial masyarakat.

Kini, semangat itu kembali hadir dalam bentuk yang lebih sederhana, namun tak kalah bermakna. Dari sebuah tempat wudhu’ kecil di kompleks kejaksaan, mengalir pesan besar: bahwa jabatan boleh berakhir, tapi nilai-nilai luhur harus terus ditanam.

Pembangunan tempat wudhu’ ini bukan sekadar penutup dari sebuah masa tugas, ia adalah salam sunyi dari pengabdian yang panjang. Di mata yang awam, mungkin inilah akhir. Tapi bagi hati yang mampu membaca, inilah awal dari kisah yang lebih abadi: tentang warisan moral dan spiritual seorang jaksa, yang pamit tanpa suara, namun meninggalkan jejak yang mengalir, seperti air yang tak henti menyucikan, meski tak pernah meminta untuk dikenang.

Ferry Tass Dt. Toembidjo, sebagai seorang anak Minangkabau, sebagai seorang Niniak Mamak, dan sebagai pemimpin yang berangkat dari Adat, ia telah menuliskan sejarahnya sendiri, bukan di atas batu yang membisu, tetapi mengalir lembut di dalam hati orang-orang yang merasakannya, seperti air wudhu: bening dan menenangkan, menjadi syarat untuk mensucikan diri sebelum berdiri di hadapan Ilahi. Ia tak meninggalkan jejak yang bising, tapi warisan yang menyucikan, pelan, dalam, dan terus mengalir.

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)